
Kalau kita benar-benar menggunakan semua potensi kita dan anternatifnya bukan lagi Do or Daze, tetapi sudah kita kondisikan sebagai Do or Die, apalagi yang menghalangi kita sukses?
Bagi perusahaan yang sedang berbenah biasanya akan muncul banyak issue, gosip, rumor dan berita-berita yang berhubungan dengan rasionalisasi, PHK. PHK belum tentu terjadi tetapi kasak kusuk telah menimbulkan kegelisahan karyawan. Tak perlu gelisah, yang perlu kita lakukan adalah jauh jauh hari sudah bersiap diri menghadapinya. Apa yang sudah kita persiapkan apabila status karyawan copot dari identitas kita?
Seorang kawan menanggapinya, saya ingin memulai, tetapi untuk memulai kan butuh modal sedang saya tak butuh modal. Bagaimana?"
Lho, memangnya kita lahir dengan membawa modal, bukankah kita lahir telanjang dan bisanya cuma menangis? Lapar menangis, ngompol menangis, kekenyangan menangis, sakit menangis, dan sekarang kita jadi karyawan bank yang cantik, pintar bersolek, jago berdebat, cerdas, gagah, ganteng, punya rumah, mobil, punya anak/ istri/ suami, teman relasi, dan sebagainya. Apakah semua itu bukan modal ? Apakah semua itu terjadi begitu saja? Pastilah semua ada prosesnya, semua itu ada tahapan tahapannya, dari bayi sampai menjadi dewasa, dari numpang orang tua sampai punya rumah sendiri, dari modal nol sampai menjadi miliarder. Dari ditangani sendiri sampai bisa punya karyawan. Sunnatullah, begitulah hukumnya.
Teman memberi contoh faktual dan mengingatkan, agar berhati hati dalam memberi saran. "Jadi orang merdeka itu tidak gampang. Banyak contoh, korban PHK atau memilih paket saat merger ternyata sengsara. Salah investasi, salah pilih usaha, dan tidak punya mental entrepreuneur karena sudah terlalu lama menjadi karyawan, sehingga yang terjadi bukannya tambah baik malah jadi pengangguran. Sementara itu karier istri tambah melejit. Terjadilah kecemburuan, mau menang sendiri, saling menegaskan peran, tak ada kebersamaan, dan akhirnya cekcok berkepanjangan, nelangsa jadinya.
Tersentak juga dengan reminder tersebut, tetapi ya begitulah. Sebagian laki-laki kadang cuma menang gaya padahal asli kemampuannya pas-pasan atau bahkan mungkin malah dibawah kemampuan sang istri. Lalu karena si istri lebih moncer kariernya, mereka laki laki yang masuk golongan ini jadi kebakaran jenggot, rewel dan bikin ulah. Begitu pula sebagian wanita, karena kariernya lebih maju lalu pongah dan kemudian merendahkan sang suami. Padahal majunya juga karena dukungan sang suami yang lebih perhatian terhadap masklah domestik rumah tangga, lebih peduli pada anak, dan lebih mandiri tanpa layanan sang istri. Runyam memang kalau maunya enak sendiri, jadilah api bertemu bensin, rumah jadi neraka. Lupa bagaimana waktu mereka saling jatuh cinta. Lupa kalau output yang dihasilkan hasil kerja team, suami, istri dan anak. Lupa bahwa rizki sebagai pasangan suami, isri bersama anak anaknya, bukan sendiri sendiri lagi. Disatu sisi tampak surut, tetapi disisi lainnya "sumbernya" malah melimpah ruah.
Kondisi-kondisi buruk tersebut, apakah telah mereka antisipasi sebelumnya? biasanya mereka lompat begitu saja atau memilih jadi terPHK tanpa persiapan sebelumnya, sehingga tidak sempat merasakan dulu bagaimana rintangan rintangan yang terjadi. Psikologis masih terkungkung dengan mental priyayi sebagai karyawan, pakai dasi, baju perlente, bangun pagi pulang sore dan tiap awal bulan berdiri didepan ATM tinggal antre. Padahal mestinya bersiap dulu, rasakan tantangannya, bagaimana mengatasinya, begitu sudah mantap baru lompat.
Model orang yang mempersiapkan dirilah yang biasanya sukses berkarya diluar profesi karyawan. Beberapa teman sukses karena sudah mempersiapkannya pada saat jadi karyawan, dan begitu sudah bisa diandalkan langsung lompat. Model seperti inilah yang biasanya membuat orang tak jadi bingung ketika kena PHK. Perubahan kondisi psikologis dari karyawan menjadi usahawan itu memang tak mudah, persiapan harus dilakukan agar tidak shock.
Tetapi Insya Allah walaupun tanpa persiapan pun bisa juga sukses, kalau kita benar-benar menggunakan semua potensi kita dan alternatifnya bukan lagi Do or Daze tetapi sudah dikondisikan Do or Die, apalagi yang menghalangi kita untuk sukses? Kondisi Do or Die ini harus kita ciptakan agar memacu adrenalin, dan membuat kita bersungguh sungguh dalam menempuhnya. Dengan demikian apabila terjadi kegagalan bisa dibedakan penyebabnya, apakah karena sebab lain ataukah karena bebal dan malasnya kita.
Kondisi psikis Do or Die, kita sendiri yang ciptakan. Semangat pantang menyerah, kita sendiri yang sematkan dalam dada. Perilaku dan sikappun kita yang menentukan. Rutinitas, pagi perpakaian lengkap dan bersepatu seperti kalau kita berangkat kerja walaupun tempat usaha kita di rumah sendiri, "pulang" sore hari, dan selama waktu jam kerja kita sungguh sungguh seperti saat kita dipacu target target saat kita jadi karyawan, setidaknya bisa menciptakan susana siap tempur. Apalagi kalau kalau ditambahi switching di otak bahwa kalau kita tak berusaha sungguh sungguh pilihan lainnya adalah mati. Insya Allah, Allah akan memberikan balasan bagi orang yang bersungguh sungguh, istiqomah (konsisten) di dalamnya.
Bukankah tukang tambal ban yang menetap di suatu tempat, tidak berpindah pindah, konsisten jam buka dan tutupnya dan melayani pelanggannya dengan baik, selalu dikunjungi pelanggannya?
Coba kalau tukang tambal ban tersebut tidak istiqomah, berpindah pindah terus lokasi dan jenis usahanya , siapa yang kenal dan tahu di lokasi tersebut ada tukang tambal ban yang bagus?
(dari buku oase di pojok kantor)
Hal ini senada dengan kata mutiara dari "AndreWongso" sbb:
"Kesuksesan bukan milik orang tertentu, kesuksesan milik Anda, milik saya dan milik siapa saja yang benar-benar menyadari, menginginkan dan memperjuangkan dengan sepenuh hati".