03 September 2008

Do or Die



K
alau kita benar-benar menggunakan semua potensi kita dan anternatifnya bukan lagi Do or Daze, tetapi sudah kita kondisikan sebagai Do or Die, apalagi yang menghalangi kita sukses?


Bagi perusahaan yang sedang berbenah biasanya akan muncul banyak issue, gosip, rumor dan berita-berita yang berhubungan dengan rasionalisasi, PHK. PHK belum tentu terjadi tetapi kasak kusuk telah menimbulkan kegelisahan karyawan. Tak perlu gelisah, yang perlu kita lakukan adalah jauh jauh hari sudah bersiap diri menghadapinya. Apa yang sudah kita persiapkan apabila status karyawan copot dari identitas kita?

Seorang kawan menanggapinya, saya ingin memulai, tetapi untuk memulai kan butuh modal sedang saya tak butuh modal. Bagaimana?"

Lho, memangnya kita lahir dengan membawa modal, bukankah kita lahir telanjang dan bisanya cuma menangis? Lapar menangis, ngompol menangis, kekenyangan menangis, sakit menangis, dan sekarang kita jadi karyawan bank yang cantik, pintar bersolek, jago berdebat, cerdas, gagah, ganteng, punya rumah, mobil, punya anak/ istri/ suami, teman relasi, dan sebagainya. Apakah semua itu bukan modal ? Apakah semua itu terjadi begitu saja? Pastilah semua ada prosesnya, semua itu ada tahapan tahapannya, dari bayi sampai menjadi dewasa, dari numpang orang tua sampai punya rumah sendiri, dari modal nol sampai menjadi miliarder. Dari ditangani sendiri sampai bisa punya karyawan. Sunnatullah, begitulah hukumnya.

Teman memberi contoh faktual dan mengingatkan, agar berhati hati dalam memberi saran. "Jadi orang merdeka itu tidak gampang. Banyak contoh, korban PHK atau memilih paket saat merger ternyata sengsara. Salah investasi, salah pilih usaha, dan tidak punya mental entrepreuneur karena sudah terlalu lama menjadi karyawan, sehingga yang terjadi bukannya tambah baik malah jadi pengangguran. Sementara itu karier istri tambah melejit. Terjadilah kecemburuan, mau menang sendiri, saling menegaskan peran, tak ada kebersamaan, dan akhirnya cekcok berkepanjangan, nelangsa jadinya.

Tersentak juga dengan reminder tersebut, tetapi ya begitulah. Sebagian laki-laki kadang cuma menang gaya padahal asli kemampuannya pas-pasan atau bahkan mungkin malah dibawah kemampuan sang istri. Lalu karena si istri lebih moncer kariernya, mereka laki laki yang masuk golongan ini jadi kebakaran jenggot, rewel dan bikin ulah. Begitu pula sebagian wanita, karena kariernya lebih maju lalu pongah dan kemudian merendahkan sang suami. Padahal majunya juga karena dukungan sang suami yang lebih perhatian terhadap masklah domestik rumah tangga, lebih peduli pada anak, dan lebih mandiri tanpa layanan sang istri. Runyam memang kalau maunya enak sendiri, jadilah api bertemu bensin, rumah jadi neraka. Lupa bagaimana waktu mereka saling jatuh cinta. Lupa kalau output yang dihasilkan hasil kerja team, suami, istri dan anak. Lupa bahwa rizki sebagai pasangan suami, isri bersama anak anaknya, bukan sendiri sendiri lagi. Disatu sisi tampak surut, tetapi disisi lainnya "sumbernya" malah melimpah ruah.

Kondisi-kondisi buruk tersebut, apakah telah mereka antisipasi sebelumnya? biasanya mereka lompat begitu saja atau memilih jadi terPHK tanpa persiapan sebelumnya, sehingga tidak sempat merasakan dulu bagaimana rintangan rintangan yang terjadi. Psikologis masih terkungkung dengan mental priyayi sebagai karyawan, pakai dasi, baju perlente, bangun pagi pulang sore dan tiap awal bulan berdiri didepan ATM tinggal antre. Padahal mestinya bersiap dulu, rasakan tantangannya, bagaimana mengatasinya, begitu sudah mantap baru lompat.

Model orang yang mempersiapkan dirilah yang biasanya sukses berkarya diluar profesi karyawan. Beberapa teman sukses karena sudah mempersiapkannya pada saat jadi karyawan, dan begitu sudah bisa diandalkan langsung lompat. Model seperti inilah yang biasanya membuat orang tak jadi bingung ketika kena PHK. Perubahan kondisi psikologis dari karyawan menjadi usahawan itu memang tak mudah, persiapan harus dilakukan agar tidak shock.

Tetapi Insya Allah walaupun tanpa persiapan pun bisa juga sukses, kalau kita benar-benar menggunakan semua potensi kita dan alternatifnya bukan lagi Do or Daze tetapi sudah dikondisikan Do or Die, apalagi yang menghalangi kita untuk sukses? Kondisi Do or Die ini harus kita ciptakan agar memacu adrenalin, dan membuat kita bersungguh sungguh dalam menempuhnya. Dengan demikian apabila terjadi kegagalan bisa dibedakan penyebabnya, apakah karena sebab lain ataukah karena bebal dan malasnya kita.

Kondisi psikis Do or Die, kita sendiri yang ciptakan. Semangat pantang menyerah, kita sendiri yang sematkan dalam dada. Perilaku dan sikappun kita yang menentukan. Rutinitas, pagi perpakaian lengkap dan bersepatu seperti kalau kita berangkat kerja walaupun tempat usaha kita di rumah sendiri, "pulang" sore hari, dan selama waktu jam kerja kita sungguh sungguh seperti saat kita dipacu target target saat kita jadi karyawan, setidaknya bisa menciptakan susana siap tempur. Apalagi kalau kalau ditambahi switching di otak bahwa kalau kita tak berusaha sungguh sungguh pilihan lainnya adalah mati. Insya Allah, Allah akan memberikan balasan bagi orang yang bersungguh sungguh, istiqomah (konsisten) di dalamnya.

Bukankah tukang tambal ban yang menetap di suatu tempat, tidak berpindah pindah, konsisten jam buka dan tutupnya dan melayani pelanggannya dengan baik, selalu dikunjungi pelanggannya?

Coba kalau tukang tambal ban tersebut tidak istiqomah, berpindah pindah terus lokasi dan jenis usahanya , siapa yang kenal dan tahu di lokasi tersebut ada tukang tambal ban yang bagus?
(dari buku oase di pojok kantor)

Hal ini senada dengan kata mutiara dari "AndreWongso" sbb:
"Kesuksesan bukan milik orang tertentu, kesuksesan milik Anda, milik saya dan milik siapa saja yang benar-benar menyadari, menginginkan dan memperjuangkan dengan sepenuh hati".

15 komentar:

Anonim mengatakan...

hwaduuuw..ternyata oh ternyata..
pak Jenny Oetomo ini punya bakat terpendam : Menulis!
Yah mgkn skrg ga terpendam bgt since si bapak udah nyalurinnya via Blog ya pak.
Terusin nulis ya pak, insyaAllah lyani jd pengunjung tetap blog nya.

Wass,

goresan pena mengatakan...

apa yang tertulis di sini juga pernah bahkan sering dibahas saat saya dan suami dulu akan menikah. beberapa pandangan yang memang harus disamakan terlebih dahulu.
memang perlu diskusi yang panjang untuk menyatukan persepsi.
hm, saya setuju dengan "berhati-hati memberi saran"
betul sekali! sehingga di dalam konseling pun, setau saya (maaf kalau salah), seorang konselor tidak akan memberikan saran, yang diberikan adalah pandangan2. karena efek dari orang yang satu dan lainnya berbeda. modal yang dimiliki pun berbeda. modal tidak hanya berupa materi, uang. tetapi modal pengalaman dan modal kekuatan hati.
very inspiring pak tulisannya...

begitu membaca, saya jadi teringat beberapa teman yang kehidupannya berbeda dengan kita, yang mau tidak mau harus terusir dari keluarga dan lingkungan karena perbedaan yang mereka miliki (contoh orientasi seksual mereka yang bukan hetero), saya pikir kurang lebih sama lah... saat mereka coming out, mereka sama dengan pekerja kantoran yang baru di PHK...

salam,
hesra

Vidy mengatakan...

Jadi, untuk sukses kita emang mesti siap. Siap untuk segala kemungkinan, termasuk kemungkinan terburuk. Dan siap berusaha dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa berdoa, dan menghargai orang-orang di sekitar kita..

Anonim mengatakan...

Tks pencerahannya bung Jenoet! saya pernah drop waktu di-phk th 2000. Mungkin waktu itu saya belum punya keikhlasan yang cukup sehingga down banget. Sejak itu saya sadar byk hal yg bs dilakukan. Walaupun tidak kaya tapi dengan segala usaha dan doa sampai sekarang masih bertahan dan tidak pernah kelaparan. Anak2 juga tumbuh normal, baik, dan berprestasi.

Anonim mengatakan...

kondisi ini spt asuransi. kita sudah sedia payung sebelum hujan, sedia sejumlah dana sebelum hal2 yg tak diinginkan terjadi. katakanlah juga spt tabungan. teman saya pd saat jadi karyawan sudah punya kontrakan sederhana. pd saat di PHK, ia tak begitu bingung sebab masih ada pemasukan income dr kontrakan bbrp kamar tsb

meme story mengatakan...

seperti halnya saya... saya tak lagi berfikir untuk menjadi karyawan lagi..karena perusahaan dimana saya bekerja tidak terlalu banyak memberi jaminan masa depan yg bagus.. tapi pada saat saya memutuskan unt keluar dari ,dan pd saat itu saya tdk punya modal.. yg jadi andalan hanya ALLAH, modal saya hanya percaya diri... dan insya ALLAH akhirnya berjalan tanpa banyak halanggan.. dari sini saya benar2 sadar Kebesaran TUHAN...

The Diary mengatakan...

Tulisan yang bagus Pak... memang sih kalo kena PHK gak ada tabungan apapun kita akan bingung, kalo bisa sih ikutan asuransi seperti kata mbak nita sedia payung sebelum hujan, jadi kita bisa jaga2 lah...

-- mengatakan...

Memang hal ini yang sering terjadi. Tapi memang benar, kadang banyak alasan yang selalu menghalagi, tapi aku teingat dengan kata teman saya, selama kita belum beranjak dari garis star kita gak akan pernah sampai ke garis finish.
Saya juga yakin, setiap usaha dan kerja keras(yang baik) akan membuahkan hasil.

Anonim mengatakan...

hal tersulit adalah memulai. saya kira Sampean benar soal ini. postingan penuh filsafat. padahal disampaikan secara sederhana

Anonim mengatakan...

hal tersulit adalah memulai. termasuk memulai suatu perubahan.
---------
postingan yg bikin semangat lagi. meski disampein dgn cara sederhana...
thanks

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

nambah lagi pengetahuan saya dengan berkunjung ke blog ini.. beruntung sekali saya bisa membaca tulisan ini..
awal
proses
akhir

fase yang sudah dijelaskan dengan jelas dalam kehidupan ini

Multama Nazri mengatakan...

sepakat mas...kita harus sedia dalam kondisi apapun...tulisan ini motivator sekalian mengingatkan pada kita...kita harus persiapkan diri agar tidak selalu jadi orang gajian dan menjadi robot-robot industri...
tulisan yang realis mas...

Anonim mengatakan...

Kita memang harus selalu siap dalam segala kondisi....karena pada dasarnya yang diperlukan adalah kemampuan menyesuaikan diri.

Haris mengatakan...

Kebanyakan orang takut untuk memulai melakukan sesuatu. Pahahal kalau tidak berabi memulai, maka kita tidak akan pernah bisa meraih yang kita impikan.
Jangan takut gagal.. Siapapun pernah mengalami kegagalan. Bahkan sejak balitapun kita sudah diajari bagaimana menghadapi kegagalan. Jika si balita tidak berani mulai belajar berdiri, maka ia takkan pernah bisa berdiri. Jika anak tersebut tidak berani mencoba berdiri kembali, maka ia takkan pernah bisa berdiri.
Kata kuncinya adalah semangat, belajar dari kegagalan, berdoa, dan sisihkan sebagian pendapatan kita untuk orang yang perlu dibantu.

Azhar Helmi Muttaqin mengatakan...

Tulisan ini memang banyak menjadi problem bagi pasangan2 muda yg sama-sama berkarier. Dimana terjadi perbenturan kepentingan antara suami istri dimana peran yg harus didahulukan, apakah peran domestik atau peran publik yg selama ini dijalani. Maunya sih semua bisa berjalan bareng dan lancar tanpa hambatan, tetapi tetap saja ada friksi diantara kedua peran tersebut.
Kalau kita mau membaca lagi pedoman hidup kita sbg muslim Qur'an dan Sunnah bahwa tanggungjwb dalam nafkah adalah dari pihak suami, sedangkan istri walau mgkin lebih besar gajinya adalah sebatas membantu saja (jadi yg wajib adalah suami sdg istri adalah sunnah). Karena sdh mjd kewajiban bagaimanapun caranya sbg suami sudah wajib bg dirinya utk menafkahi istri dan anak-anaknya, walau ketika terjadi rasionalisasi atau PHK, laki-laki hrs segera mencari solusi agar masalah ini, krn laki2 adl qowwam bagi keluarganya. Tetapi krn sikon skrg yg sdh tersistem dimana lap kerja bagi laki2 byk terisi oleh wanita yg mgk dg berbagai alasan bisa menduduki posisi sama spt laki-laki. Utk itu kalo mmg pekerjaan formal tdk memungkinkan, pekerjaan2 informal bisa dilakukan asalkan halal penghasilan yg didpt utk menghidupi keluarganya.


Berkumpul dengan Keluarga